JAKARTA – Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan mengintregrasikan hasil ujian nasional (UN) sebagai paspor ke perguruan tinggi negeri (PTN). Namun demikian, PTN masih mempertanyakan kredibilitas nilai hasil UN itu sendiri.
Menteri Pendidikan Nasional,. Mohammad Nuh, menjelaskan hasil UN dapat digunakan untuk berbagai perspektif atau kegunaan. Kegunaan yang dimaksud, antara lain untuk menentuan kelulusan sekolah dan memetakan hasil UN untuk melakukan intervensi kepada daerah yang mendapat hasil buruk.
“Kita gunakan juga nilai UN sebagai passport ke PTN,” ujar M Nuh kepada wartawan di sela-sela rapat dengan dinas pendidikan provinsi dan rektor se-Indonesia.
Menurut M Nuh, nilai UN jika dikawinkan dengan Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri akan efektif. Berdasarkan kurikulum, soal tiga mata pelajaran yang diujikan di UN, Matematika, bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris memiliki pondasi yang sama dengan soal SNMPTN. Dia mengatakan perbedaan soal antara UN dan SNMPTN pada tingkat kesulitan soal dan tes potensi akademik..
“Daripada PTN menguji ulang mata pelajaran di UN, lebih baik mereka ambil mata pelajran yang belum diuji di UN,” tegas Mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) itu.
Namun demikian, tidak semua PTN sependapat dengan rencana kebijakan Kemendiknas tersebut. Ada PTN yang belum yakin dengan kredibilitas penyelenggaraan dan hasil UN itu sendiri. Oleh karena itu, kata M Nuh, Kemendiknas mengundang seluruh kepala dinas pendidikan provinsi dan rektor untuk memantau dan merangkum pelaksanaan ujian nasional kemarin.
“PTN itu pemerintah, bagian dari Kemendiknas. Kalau ada sesama Kemendiknas nggak nurut apa baik?” cetus M Nuh. Namun demikian, M Nuh menegaskan tidak akan ada paksaan kepada PTN untuk mengikuti kebijakan Kemendiknas. “Semua bisa dikaji,” katanya.
Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmaloka, berpendapat pelaksanaan atau proses UN perlu diperbaiki dahulu sebelum dikawinkan dengan SNMPTN. Menurut dia, nilai UN itu untuk menentukan kelulusan, sementara SNMPTN untuk menyeleksi mahasiswa berdasarkan tingkat akademiknya ke PTN.“Ada perbedaan jika kita menyeleksi orang dengan menyatakan kelulusaan,” ujar Akhmaloka kepada Republika, Ahad (11/7).
Akhmaloka memandang penyelenggaraan UN belum sepenuhnya dapat dijadikan passport ke PTN lantaran masih adanya kekurangan yang harus terus diperbaiki. Dia mengatakan, dalam penyelenggaraan UN kemarin, para rektor tidak sepenuhnya dilibatkan. “Kami hanya sebagai pemantau saja, tidak masuk dalam kepanitiaan,” paparnya.
Oleh karena itu, kata Akhmaloka, nilai UN belum dapat diintegrasikan sebagai passport ke PTN dalam waktu dekat. “Kalau 2011 belum bisa,” ujarnya.
Sementara itu, terkait rencana Kemendiknas menambah kuota 60 persen penerimaan mahasiswa baru melalui SNMPTN pada 2011, Akhmaloka mengatakan ITB tidak ada masalah. Dia mengatakan Kemendiknas memang sudah mempunyai draft rancangan perubahan pengganti Undang-Undang No 17 tahun 2010 perihal tata kelola pendidikan.
“Salah satu unsur dalam rancangan perubahan itu salah satunya terkait SNMPTN. PTN yang BHP akan ditertibkan,” jelas Akhmaloka.
Sekarang ini, lanjut Akhmaloka, kuota penerimaan mahasisawa baru di ITB untuk SNMPTN dan tes mandiri sama besarnya, yakni 50 persen. Artinya, jika pemerintah mau menambah menjadi 60 persen, tidak akan ada perubahan yang signifikan terhadap ITB.
“Perlu digarisbawahi, ITB tidak cari uang dari tes mandiri. Kami punya sumber pendanaan sendiri, seperti dana abadi, alumni, dan sumbangan masyarakat,” tutup Akhmaloka.
www.republika.co.id